Monday, September 26, 2016

BAPAKKU DI TINTA EMAS WAKTU

"Bapak saya dulunya adalah pemimpin bangsa ini.
Bapak saya dulunya adalah orang yang sangat disegani sekali.
Bapak saya dulunya adalah yang merancang undang-undang.
Bapak saya dulunya adalah ketua MPR yang sangat di hormati
Bapak saya dulunya adalah ketua DPR yang sangat merakyat".

Tanpa disadari, seorang bapak/emak, masih sibuk membangga-banggakan bapaknya. Dan tanpa disadarinya juga, ia lupa menjadi kebanggaan bagi anak-anaknya. Yang seharusnya berkirim doa-doa untuk orang tua tercinta yang telah tiada. Yang seharusnya mendidik anak-anak, agar menjembatani rida-Nya, biar tidak sama-sama terperangkap di dalam gelora api Neraka. Bukannya makin menancapkan bendera keakuan ke dalam pikiran anak bangsa. Bahwa dulunya bapaknya adalah manusia yang sangat berjasa bagi bangsa dan negara. Yang seharusnya jasa-jasa orang tua kita, biarlah Tuhan Yang Maha Esa saja yang membalasnya, bukannya mengurangi nilai-nilai luhur yang pernah bertebaran di dalam langkah-langkah perjuangannya. Mungkin saja saat ini, beliau tak rela. Bila kita, selalu saja mengagung-agungkannya. Karena perjuangannya, hanyalah semata-mata untuk negeri tercinta. Mungkin saat ini, ada mata lain yang terluka oleh ucapan kita. Karena bapaknya juga punya banyak jasa. Akan tetapi luput dari sorotan media. Bahkan, seperti lenyap saja tanpa tanda jasa. Lalu, mengapa kita harus membuang," bijak", yang seharusnya menjadi jubah bersikap, dalam berkata-kata, sebagai orang tua yang sudah sangat dewasa?.

Seorang bapak/emak yang gila hormat. Tanpa disadarinya ia telah mengundang khiamat untuk dirinya, bahkan bisa jadi, telah mengundang bencana untuk orang lain. Sebab, biasanya orang yang gila hormat, ia akan meradang, bila tanpa sengaja, maupun sengaja, bapaknya yang dulu pernah jadi mutiara bangsa, di banding-bandingkan jasanya dengan bapak orang lain, yang juga pernah berjasa untuk negara. Baginya, hanyalah bapaknya saja yang punya jasa untuk bangsa ini. Orang lain, hanyalah sebagai peramai kancah perjuangan semata. Padahal, Ada Tuhan yang Maha Tahu, yang paling pandai menilai niat yang tertanam di dada.

Ketahuilah, bila kita sering menepuk dada, orang lain akan menepuk pantat. Bila kita sering menjentikkan jari. Orang lain, akan meludah sambil berlari. Biarkan mereka yang telah pergi, tetaplah pergi. Janganlah dihidupkan lagi dengan sakit hati. Biarlah orang-orang yang telah berjasa untuk negara, tenang di alamnya. Jangan disandingkan dengan diri kita, yang mungkin belum seujung kukunya. Karena sangat banyak tokoh-tokoh bangsa, yang dulunya terlahir dari rahim orang yang biasa-biasa. Akan tetapi anak-anaknya tidak mau menyebut-nyebut jasa-jasa orang tuanya. Malah mereka menyingkir dari pujian-pujian mereka.

Mengapa kita harus tetap membangga-banggakan bapak kita?.
Lupakah kita?, bahwa banyak orang-orang yang terpaksa hidup membujang sampai akhir hayatnya, demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia Raya. Yang mana jasa-jasanya sengaja disembunyikan oleh keluarganya, demi keutuhan berbangsa, bernegara.
Mengapa kita yang hidup dalam satu bendera, akan tetapi masih mengibarkan bendera yang lain di dada. Lupakah kita, bahwa bapakmu adalah bapakku juga. Kami bangga dengan mereka, meski kita terlahir dari rahim-rahim yang berbeda. Lalu, mengapa kita tidak berbineka Tunggal Ika saja, dan damai di dalamnya?